CINTA. Hanya satu kata, tersusun dari lima huruf
yang berbeda. Sangat sederhana. Kata yang sama sekali bukan kata sulit
untuk dituliskan, pun untuk diucapkan. Namun kata sederhana ini menjadi
jutaan tema dalam kehidupan. Tema dalam kisah bahagia, kisah sedih yang
tak ada habis-habisnya, kisah lucu yang menyegarkan, kisah kegalauan
remaja zaman sekarang, kisah sukses penuh semangat, dan kisah-kisah
lainnya.
Kali ini aku ingin berbagi tentang cinta antar manusia.
Teringat akan sebuah kalimat, “cinta tak harus memiliki”. Kalimat yang
cukup populer dan sering dijadikan alasan atau sekadar kalimat penghibur
bagi mereka yang sedang dilanda kisah cinta episode kesedihan. Kalimat
populer ini jelas ditujukan untuk kisah cinta antar manusia. Cinta pada
seseorang yang diharapkan dapat menjadi pasangan hidup, namun tak
berujung pada pernikahan. Kasihan. Ah, mereka bukan orang-orang yang
perlu untuk dikasihani. Karena rasa kasihan hanya akan menambah
kesedihan bagi yang mengalami. Malang. Sejatinya orang-orang yang
mengalami episode ini bukanlah orang yang malang. Jika disikapi secara
baik, hal ini justru dapat melatih yang bersangkutan untuk menjadi lebih
sabar, lebih dewasa, lebih bijaksana, dan selalu yakin serta bersyukur
akan pemberian-pemberian dari Allah. Karena yakinlah, bahwa Allah akan
memberikan yang terbaik yang kita butuhkan, bukan yang terbaik (menurut
kita) seperti yang kita inginkan.
Cinta tak harus memiliki.
Sedikit terasa mengganjal dalam hati mencermati kalimat ini. Konon
kabarnya, fitrah manusia untuk mencintai. Ya, baiklah kalau begitu.
Tapi yang mengganjal di sini adalah seseorang mencintai seorang manusia
lainnya sebelum dinyatakan sah dan halal. Apakah salah? Entahlah. Suka
pada seseorang sebelum menikah, sepertinya tak ada masalah. Tak ada
masalah jika hanya sebatas rasa kagum, simpati, suka karena terdapat
teladan yang baik dalam diri seseorang. Tapi apakah harus mencintainya?
Mengharapkan seseorang tersebut untuk menjadi pasangan hidup, sepertinya
itu juga bukan suatu kesalahan. Sangat wajar jika seseorang
mengharapkan pasangannya adalah orang yang baik, shalih/shalihah,
mengagumkan, dan terdapat suri teladan yang baik dalam dirinya. Wajar,
sangat wajar dan manusiawi. Tapi apakah harus mencintainya? Dan apakah
harus “dia”?
Kawan, aku bukanlah orang yang penuh kebaikan
sehingga aku pantas untuk menggurui dan menasihatimu. Maaf, sekali lagi,
maaf. Tugas kita sesama muslim adalah saling mengingatkan pada
saudaranya. Dan kali ini, sejatinya aku ingin mengingatkan diriku
sendiri, dan ingin berbagi padamu. Mohon ingatkan aku jika ada yang
salah, kawan.
Wajar-wajar saja jika kita suka pada seseorang,
mengaguminya, itu hal yang manusiawi. Tapi mencintainya, wajarkah?
Teringat seorang teman mengatakan kalimat yang juga cukup populer
tentang cinta. “Cintai apa yang dimiliki, bukan miliki apa yang
dicintai.” Begitu pula kurasa dengan kekasih, pasangan hidup, seorang
manusia yang menjadi pendamping dunia akhirat. Sayang sekali jika kita
mencintai seseorang yang belum tentu akan menjadi pasangan hidup kita
nantinya. Iya kalau jodoh kita adalah dia. Tapi jika bukan, betapa
kasihan jodoh kita yang sebenarnya. Ia yang seharusnya mendapatkan cinta
seutuhnya, namun sebagian hati telah tertawan pada hati yang lain. Ia
yang seharusnya kita cintai, tapi nyatanya hanya mendapatkan sisa-sisa
cinta dari sekeping hati kita yang rapuh ini.
“Jodoh itu tak akan
tertukar”, begitu celoteh temanku yang lain. Yakinlah bahwa seseorang
yang berjodoh dengan kita nantinya adalah yang terbaik. Jadi tak perlu
menyibukkan diri untuk mencintai hati yang belum tentu akan mencintai
seperti kita mencintainya. Kalaupun ia juga cinta, belum tentu kan
berjodoh. Tak sampai hati rasanya bila menyakiti pasangan yang
sebenarnya nanti. Dialah yang seharusnya dicintai dengan sepenuhnya.
Bukan dengan sisa-sisa cinta, apalagi hanya sebagai pelarian semata. Ada
baiknya jika sekarang kita mempersiapkan diri dan menjaga hati
untuknya. Tak ingin hati ini ternoda oleh cinta yang salah alamat.
Cintaku
hanya akan kuberikan setelah akad nikah. Ijab qobul yang begitu sakral
terucap, menggetarkan hati begitu dahsyat sehingga cinta itu kan tumbuh
secara alami. Aku hanya ingin mencintainya setelah ia halal bagiku.
Sepenuhnya, tanpa terbagi.
Kembali pada dua kalimat cinta
yang cukup populer tadi. “cinta tak harus memiliki” dan “cintai apa yang
dimiliki, bukan miliki apa yang dicintai”. Dua kalimat ini terasa
bertolak belakang dari satu sudut pandang tertentu. Kalimat pertama
menyiratkan makna bahwa cintailah apa saja, siapa saja. Tapi ingat,
mencintainya bukan berarti harus memilikinya.
Sedangkan kalimat
kedua, cukup lugas. Memberikan pandangan dan pilihan yang sedikit
berbeda. Ada perbedaan antara mencintai apa yang dimiliki dengan
memiliki apa yang dicintai. Dalam konteks pasangan hidup, Mencintai apa
yang dimiliki, ini berarti cinta itu tumbuh setelah seseorang sah dan
halal bagi kita. Sedangkan memiliki apa yang dicintai, ini berarti cinta
itu telah bersemi indah sebelum seseorang tersebut sah dan halal
baginya. Jika kita ingin “memiliki apa yang kita cintai”, maka kalimat
“cinta tak harus memiliki” berlaku di sini. Namun tak kan berlaku jika
kita “mencintai apa yang kita miliki”. Yang berlaku adalah “cinta harus
memiliki”. Karena kita sudah memiliki terlebih dulu sebelum
mencintainya. Dan hal ini menyiratkan sebuah isyarat rasa syukur yang
begitu besar atas apa yang telah ditetapkan oleh Allah untuk kita.
Kalaupun ternyata pasangan kita nantinya tak sesuai harapan, itu artinya
Allah ingin kita belajar untuk bersabar. Dan ingatlah, Allah itu
bersama orang-orang yang sabar. Di sisi lain, Allah akan menambah
nikmatnya bagi yang selalu bersyukur.
Sungguh dahsyat rasanya jika
kita mencintai apa yang kita miliki. Hidup dalam bingkai cinta yang
tulus berhiaskan kesyukuran dan kesabaran. Kebahagiaan bukanlah hal yang
sulit diwujudkan. Kedamaian dan ketenangan pun akan terus mengiringi
dalam setiap degup jantung. Bukankah ini begitu indah, kawan?
Satu
hal yang perlu diingat, kawan. Cinta pada manusia bukanlah yang abadi.
Jadikan cinta itu sebagai media mengalirnya cinta menuju muara cinta
yang paling agung. Cinta pada Allah. Cinta inilah yang hakiki. Mencintai
pasangan merupakan salah satu perwujudan cinta pada Rabb yang menguasai
jiwa ini. Sebesar apapun cinta itu, tetap tujuan akhirnya adalah cinta
pada Sang penguasa cinta. Dialah yang memiliki cinta terluas, cinta tak
berbatas. Dialah yang berhak untuk dicintai sepenuhnya. Karena setiap
detail kehidupan kita tak bisa lepas dari cinta-Nya.
Kawan, andai
dirimu kebingungan melabuhkan cinta karena belum ada seseorang yang
halal bagimu, tak perlu merasa galau. Kegelisahan hanya membuat kita
terus merasa risau. Ada Allah yang kita miliki dan yang memiliki kita
sepenuhnya. Cintailah dengan cinta terbaik yang kita punya. Yakinlah Dia
tak akan menyia-nyiakan cinta kita yang seadanya ini. Jika yang kita
dapatkan tak sesuai keinginan, bukan Allah tak mencintai kita. Tapi
Allah ingin kita belajar menjadi orang yang sabar sehingga kita bisa
terus merasa dekat dengan-Nya. Karena Allah bersama orang-orang yang
sabar. Namun jangan lupa untuk bersyukur ketika yang kita dapatkan
sesuai keinginan. Karena rasa syukur itulah yang menjadikan nikmat Allah
terus bertambah. Tidak pernah rugi, bukan? Ibarat berdagang,
perdagangan yang selalu menguntungkan hanyalah perdagangan dengan Allah,
Rabb penguasa semesta.
—
Di tengah hirup pikuk area tambang
Bersama mendungnya awan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar