Pelajar Islam Indonesia (PII),
Kiprah dan Pergerakannya telah teruji dan memberi kontribusi yang besar
bagi ummat dan bangsa. Gagasan untuk mendirikan PII adalah upaya untuk
menutup adanya jurang pemisah yang sekian lama diciptakan oleh penjajah
antara pelajar umum (hasil didikan pola belanda) dengan santri (pelajar
Islam) hasil didikan pesantren yang sesungguhnya adalah sama – sama
“pelajar” dari keluarga muslim.
Adalah
Seorang Pelajar bernama Joesdi Ghozali yang menjadi inspirator
pembentukan wadah bagi para pelajar Islam yang ketika itu belum
terkoordinasi, cita – cita itu dirintis dalam pertemuan di Gedung SMP
Negeri II Secodiningratan, Jalan Senopati Yogyakarta dengan dihadiri
oleh Joesdi Ghozali, Anton Timur Djaelani, Amir Syahri, Ibrahim Zarkasji
dan Noorsjaf yang menghasilkan kesepakatan pembentukan yang akan
diusulkan dalam forum kongres Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang
dilangsungkan pada tanggal 30 Maret – 1 April 1947 di Gedung Muallimin,
Yogyakarta.
Dalam
Kongres GPII itulah Anton Timur Djaelani yang menjabat sebagai Pimpinan
Pusat GPII bagian pelajar mengemukakan masalah GPII bagian pelajar dan
pada saat itulah Joesdi Ghozali mengemukakan ide tentang perlunya
organisasi pelajar yang terpisah sehingga kemudian timbullah diskusi
diantara para utusan kongres yang sebagian besar akhirnya menyetujui
lepasnya GPII bagian pelajar untuk dilebur menjadi Organisasi Pelajar
Islam Indonesia. Dalam Kongres itu juga disusun draft AD/ART PII yang
dibagikan kepada semua utusan untuk dibahas di daerahnya masing –
masing.
Pada Hari
Ahad, 4 Mei 1947 diadakan pertemuan di Gedung GPII, Jalan Margomulyo 8
Yogyakarta yang secara resmi menetapkan AD/ART dan Mendeklarasikan
penggabungan beberapa organisasi pelajar seperti Perhimpunan Pelajar
Islam Indonesia Yogyakarta (PPII), Gerakan Pemuda Islam Indonesia Bagian
Pelajar, Persatuan Pelajar Islam Surakarta (PPIS) dan Persatuan Kursus
Islam Sekolah Menengah Surabaya (Perkisem) atas dasar kesamaan azas dan
cita – cita. Pada tanggal 4 Mei itulah Pengurus Besar PII Pertama
terbentuk dan sejak itulah tanggal 4 Mei dijadikan Hari Kebangkitan PII,
disingkat HARBA PII, hari lahirnya kesadaran dan tanggung jawab sebagai
Pelajar Islam terhadap agama, nusa dan bangsa.
PII ditengah Bahaya Merah PKI
Karena
situasi negara yang masih “membara” untuk mempertahankan kedaulatan
Republik Indonesia yang baru diproklamasikan maka dalam tubuh PII muncul
gagasan perlunya “Sumbangan PII dalam pertahanan dan pembelaan Negara”,
sehingga dalam konferensi Besar I di Ponorogo terbentuklah “Brigade
PII” yang dikomandani oleh Abdul Fattah Permana sebagai wadah untuk
menyalurkan anggota PII yang berbakat di bidang ketentaraan ke Laskar
Hizbullah dan Laskar Sabilillah yang pada perkembanganya merupakan cikal
bakal lahirnya TRI atau TNI dibawah kepemimpinan Panglima Besar Jendral
Soedirman.
Dalam
kesempatan menghadiri peringatan HARBA PII pertama di Yogyakarta, Pak
Dirman memberikan sambutannya yang dapat dikutip sebagai berikut :
“Teruskan perjuanganmu, hai anak – anakku PII, negara kita adalah negara baru, didalamnya penuh onak dan duri, kesukaran dan tantangan banyak kita hadapi. Negara membutuhkan pengorbanan pemuda dan segenap bangsa Indonesia!”
Jika pada
tahun 1945 GPII berhasil mencegah dominasi organisasi Pemuda Indonesia
oleh Ideologi Kiri yang terlibat Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948,
demikian pula PII berhasil mencegah dominasi organisasi pelajar dari
ideologi merah.
PII dengan
Brigadenya berdampingan dengan laskar – laskar lainnya dari bangsa
Indonesia terjun ke medan – medan pertempuran untuk mengusir penjajah
yang ingin menjajah kembali negeri ini dan menumpas pemberontakan Pemuda
Sosialis Indonesia (PESINDO) di bawah pimpinan Amir Syarifuddin dari
Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan Muso di Madiun pada
tahun 1948.
Selanjutnya,
PII terlibat aktif dalam Konferensi Pemuda Antar Indonesia yang
dihadiri oleh 28 organisasi pemuda dari seluruh tanah air, Konferensi
ini pada tanggal 17 Agustus 1949 berhasil melahirkan sikap dan tekad
Generasi Muda Indonesia yang dikenal sebagai “Manifest Pemuda
Indonesia”, yang salah satu isinya adalah :
“Pembaharuan tekad, tenaga dan pikiran untuk melanjutkan perjuangan pemuda seluruh Indonesia dengan pedoman : berdasarkan Proklamasi 17 Agustus 1945, bertujuan kesempurnaan Negara Republik Indonesia yang satu, berdaulat dan merdeka, yang meliputi Kepulauan Indonesia (termasuk Irian Barat), dengan semboyan : satu bangsa, satu bahasa, satu negara Indonesia, dengan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, dan bendera merah putih”
Manifest
Pemuda tersebut ditandatangani oleh 28 wakil – wakil organisasi pemuda
Indonesia, sedangkan dari PII yang ikut menandatangani adalah A. Halim
Tuasikal.
Satu lagi
Peran penting PII yang patut dicatat adalah keterlibatannya dalam
Kongres Muslimin Indonesia (20-25 Desember 1949) yang turut melahirkan
Badan Kongres Muslimin Indonesia (BKMI) dengan pimpinan terpilih antara
lain : KH A. Ghaffar Ismail, Anwar Haryono, dan Wali Al Fatah.
Dalam Kongres inilah PII mengajukan 5 (lima) pernyataan sikap yang sangat bersejarah yaitu :
- Adanya Satu Partai Politik Islam, ialah Masyumi
- Adanya Satu Organisasi Pemuda Massa Islam, ialah GPII
- Adanya Satu Organisasi Pelajar Islam, ialah PII
- Adanya Satu Organisasi Mahasiswa Islam, ialah HMI dan
- Adanya Satu Pandu Islam, ialah Pandu Islam Indonesia (Hizbul Wathan)
Seiring
Bahaya Merah PKI yang masih mengancam generasi muda Indonesia maka PII
merasa terpanggil untuk menentukan sikap. Pada Kongres Pemuda Indonesia
di Surabaya (14-15 Juni 1950), PII melihat adanya ketidakserasian karena
masing – masing golongan ingin saling menguasai. Blok – blokan ini
terjadi karena Kongres Pemuda ini banyak ditunggangi oleh aliran kiri
(Pesindo Pemuda Rakyat), bahkan mereka secara terang-terangan memasang
gambar foto “suripto”, salah seorang pemimpin pemberontakan PKI di
Madiun. Atas dasar inilah Pengurus Besar PII secara tegas memutuskan
menolak bergabung dalam Front Pemuda Indonesia.
Pada tahun
1965, PII dengan Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia (KAPPI)-nya
dibawah kepimpinan M. Husnie Thamrin yang menjadi Ketua KAPPI Pusat
menjadi ujung tombak angkatan enam – enam, menumpas G30S/PKI sampai ke
akar – akarnya.
PII dan Gerakan Amal Sholeh
Setelah PKI
Bubar dan pemerintahan beralih dari orde lama ke orde baru maka PII
mengubah haluannya yakni tidak lagi terjun ke kancah politik praktis
dengan kembali kepada ideologi perjuangan semula sebagai organisasi
pelajar dengan mengaktulisasikan diri dalam Program GAS (Gerakan Amal
Sholeh) yang terkenal dengan slogan Kembali ke Masjid, kembali ke Bangku
Sekolah dan Kembali ke Kampung. GAS merupakan usaha PII untuk ikut
menanggulangi krisis moral yang melanda generasi muda sekaligus
mengarahkan PII untuk bergiat dalam pendidikan dalam rangka membangun
bangsa dan negara yang diridhoi Allah SWT.
Sebagai organisasi massa sosial dan pendidikan, PII telah mempunyai suatu sistem latihan yang efektif bagi generasi muda yaitu :
- Latihan Kepemimpinan (Leadership Training) bagi para anggotanya dari mulai tingkat dasar sampai tingkat lanjutan
- Latihan Kejiwaan (Mental Training) dan pesantren kilat yang terbuka untuk semua generasi muda.
- Latihan Kerja Kemasyarakatan (Perkampungan Kerja Pelajar/Pemuda) dan Brigade Pembangunan yang terbuka untuk semua generasi muda.
PII dan masa depan Kepemimpinan Nasional
Pergerakan
Pelajar Islam Indonesia dengan pemberdayaan potensi pelajar dan generasi
muda yang senantiasa diperjuangkannya, menjadikan PII membuka jalan
bagi mempersiapkan kader – kader pemimpin yang berkepribadian dan
berperadaban Islam. Jadi tidaklah berlebihan jika kini banyak nama –
nama alumni PII yang berkiprah dan berperan strategis di berbagai bidang
termasuk juga dalam hiruk pikuk pentas politik negeri ini.
Meski PII
memiliki kedekatan sejarah dan emosional dengan Partai Masyumi yang
dikenal sebagai Keluarga Besar Bulan Bintang namun PII maupun Keluarga
Besar PII tetap independen dan tidak ber-afiliasi pada salah satu partai
politik tertentu.
Kendati
sebagian besar mantan petinggi PII melabuhkan pilihan politiknya kepada
PBB (Partai Bulan Bintang / Partai Bintang Bulan) diantaranya Dr. Anwar
Haryono, Hussein Umar, Abdul Qodir Djaelani, Hartono Marjono, dan banyak
yang tidak tersebutkan namun tidak sedikit mantan aktivis PII yang
berkiprah di partai lain seperti AM Saefuddin dan Husni Thamrin di
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Abdul Hakam Naja dan AM Fatwa di
Partai Amanat Nasional (PAN) dan beberapa diantaranya juga menjadi
deklarator dan pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) seperti
Mutammimul Ula.
Dibalik
fakta ini PII sebagai organisasi pelajar dituntut untuk tampil
independen dan tidak larut dalam pragmatisme politik sebab PII dengan
Gerakan Amal Sholeh-nya senantiasa dinanti kiprah dan sumbangsih-nya
dalam mempersiapkan kader-kader ummat dan bangsa yang berkepribadian dan
berperadaban Islam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar